Oleh : Ismail
Syakban, S.Pd.I “Ideolog IMM”
Alumni IMM Cab,
Sukoharjo.
Merenungkan
masalah bangsa memerlukan kearifan dan menghendaki disiplin berpikir sistemik.
Tak ada satu pun persoalan bangsa yang terlepas kaitannya dari persoalan lain. Hubungan
antar perkara itu dapat bersifat positif (membawa perbaikan) atau
negatif(memperparah keadaan). Karena itulah kecermatan bekerja dan keluasan
wawasan pada segenap komponen bangsa dihajatkan. Jangan sampai para pemimpin
bangsa terjebak pada sikap parsial atau sektoral, bukan memecahkan keseluruhan
masalah, malah menanam bom waktu yang suatu saat bisa meledak dengan dahsyat.
Sebagai bangsa yang beriman, kita patut menyimak dan menghayati kembali doa
yang diajarkan Nabi Muhammad Saw. Doa itu bermakna: “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari rasa cemas dan
putus asa, aku berlindung kepada-Mu dari sifat hina dan malas, aku berlindung
kepada-Mu dari jiwa pengecut dan kikir, aku berlindung kepada-Mu dari jerat
utang dan dominasi orang lain” (HR Abu Dawud).
Untuk
memecahkan permasalahan kontemporer di Negara kita tercinta ini, maka perlu
sikap partisipasi aktif dari semua kalangan. Baik itu dari pemuda-pemudi,
negarawan, aktifis, organisasi masyarakat Islam dan dan para pemerhati atau
simpatisan social dan pendidikan. Jika kita berbicara mengenai partisipasi
aktif dari semua kalangan, maka Muhammadiyahpun ikut berperan dengan
menerjunkan lansung kader-kader progresif kedalam “kawah” kebangsaan tersebut.
Muhammadiyah
telah melakukan kaderisasi sebagai nafasnya organisasi (Din Syamsuddin) dengan
salah satu tujuannya untuk bias berperan aktif dalam permasalahan-permasalah
nasionalisme. Agar efektifitas tujuan (dalam hal ini) tercapai dengan maksimal
dan memuaskan, maka perlu adanya transformasi profil kader dan dihadapkan
kepada problematika demi mencari jalan keluar yang solutif.
Di beberapa forum masih sering dipertanyakan
bagaimana mentrasformasikan atau menempatkan kader Muhammadiyah di lingkungan
Persyarikatan., selain dalam kehidupan yang lebih luas ditingkat ummat dan
bangsa. Artinya, terdapat tuntutan yang perlu dijawab, bagaimana menempatkan
kader Muhammadiyah secara terprogram atau terencana untuk menduduki
posisi-posisi strategis di lingkungan sendiri, termasuk dalam kepemimpinan dan
pengelolaan amal usaha Muhammadiyah.
Di kalangan orang-orang Muhammadiyah sendiri
masih berkembang tiga pandangan mengenai transformasi kader tersebut:
Pandangan pertama
menyatakan bahwa seharusnya kader Muhammadiyah disiapkan untuk menduduki dan
menjalankan fungsi-fungsi mengemban visi Persyarikatan baik dalam kepemimpinan
termasuk dalam amal usaha muhammadiyah. Jika Muhammadiyah termasuk amal
usahanya ingin tumbuh dan berkembang sesuai dengan misinya maka harus
dijalankan oleh para kader Muhammadiyah yang memang sejak dini memahami dan
menghayati perjuangan Muhammadiyah. Hal ini sangat penting sekali untuk
dilakukan sebagai wahana mempertajam kekuatan pikiran kader dalam memahami dan
bisa mencari solusi terhadap permasalahan yang ada. Dengan membiasakan kader untuk
terlibat dalam dunia persyerikatan terlebih dahulu akan menjadikan
pelajaranyang berharga bagi kader jika terjun ke dalam permasalahan bangsa
nantinya.
Pandangan
kedua menyatakan, struktur
kepemimpinan atau pengelola di lingkungan persyarikatan maupun amal usahanya
tidak harus dari AMM atau yang pernah mengalami kaderisasi di Muhammadiyah.
Kader dari luar pun sejauh alam pikirannya sama dengan Muhammadiyah maka dapat
diterima dan dimasukkan kedalam struktur kelembagaan Muhammadiyah tersebut.
Profesionalisme kader juga perlu di terbitkan dalam hal ini. Dengan demikian,
bias menjadi antisipasi bagi kader dalam terjun lansung kepada Ummmat nantinya.
Pandangan ketiga
yang menyatakan bahwa kader itu tidak harus atau tidak selalu harus masuk dalam
struktur kepemimpinan baik di Persyarikatan maupun di amal usaha, yang paling
utama ialah wujud pengabdiannya. Jika logika ini dipakai, maka boleh jadi
kepemimpinan strategis tidak akan dikuasai kader Persyarikatan, dengan logika
bahwa “pengabdian” dimanapun jauh lebih utama daripada “berebut posisi”, sedang
posisi penting di Muhammadiyah dikuasai oleh mereka yang bukan kader. Padahal
sesungguhnya, harus sebanyak mungkin kader muhammadiyah yang menguasai posisi
penting dan strategis di seuruh lingkungan struktur kelembagaan Persyarikatan,
termasuk di amal usaha, dengan catatan bahwa para kader itu sendiri
dimobilisasi agar memiliki kualitas yang standar bahkan unggul. Transformasi
kader ke struktur kelembagaan Persyarikatan tidak terlepas dari proses
penyiapan dan keberadaan kader itu sendiri. Jika kader Muhammadiyah khususnya
yang berasal dari AMM memiliki kunggulan standar, maka dengan sendirinya akan
berbanding lurus dengan proses transformasi kader di kepemimpinan maupun amal
usaha Muhammadiyah. Sebaliknya ,tidak mungkin transformasi kader itu
berlangsung sukses manakala petensi dan keberadaan kader Muhammadiyah sendiri
dibawah standar, baik kuantitas lebih-lebih kualitas.
Adapun dari permasalahan-permasalahan yang
harus diselesaikan dalam bangsa ini adalah diantaranya: masalah ekonomi,
social, pendidikan, politik dan permasalahan kemanusiaan lainnya, untuk dapat
menyelesaikan permasalahan demi permasalahan (dalam berbagai bidang factor)
tersebut, maka memang diperlukan kader atau orang-orang yang memang menguasai bidangnya.
Muhammadiyah adalah organisasi Islam yang bergerak dalam segala factor
kehidupan. Terutama sekali bidang pendidikan, awal dari pergerakan Muhammadiyah
adalah dalam bidang pendidikan.
Transformasi
kader disamping terkait dengan penyiapan potensi kader, pada saat yang sama
harus disertai dengan adanya Political Will dari seluruh lingkup
kepemimpinan Muhammadiyah baik di persyarikatan maupun di lingkungan amal usaha
Muhammadiyah. Bahwa masa depan Muhammadiyah tergantung pada kadernya yang harus
memikul amanat dengan berbagai daya dukung yang optimal. I’tikad politik yang
serius itu harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan
organisasi secara sistemik, bukan sekedar kebaikan orang perorang yang
kebetulan sedang memimpin baik di kepemimpinan Persyarikatan maupun
dilingkungan amal usaha Muhammadiyah. Kepentingan transformasi kader tersebut
juga bukan dianggap sebagai beban tetapi melekat sebagai kewajiban kepemimpinan
dan organisasi. Namun, sering proses kearah penciptaan I’tikad politik itu
tidaklah mudah dan dan datang dengan sendirinya, karena itu harus selalu
didorong dan dikritisi oleh seluruh komponen yang ada dilingkungan
Muhammadiyah. Bahwa siapapun yang diberi amanat memimpin Persyarikatan dan amal
usahanya, memiliki amanat dan kewajiban yang melekat untuk membuka dan
menjalankan transformasi kader.
Untuk
mengakhiri tulisan ini, penulis mengharap kepada semua kader Muhammadiyah dari
kalangan manapun atau ortom apapun agar bias ikut secara pertisipasi aktif
dalam memecahkan permasalahan-permasalahan bangsa seperti ini. Karena memang
inilah salah satu garapan dari Organisasi Muhammadiyah yang selalu kita
bangga-banggakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar