Jumat, 02 November 2012

Reposisi Kader Ideolog dalam Menjawab Problematika Bangsa



Oleh : Ismail Syakban, S.Pd.I “Ideolog IMM”
Alumni IMM Cab, Sukoharjo.
Merenungkan masalah bangsa memerlukan kearifan dan menghendaki disiplin berpikir sistemik. Tak ada satu pun persoalan bangsa yang terlepas kaitannya dari persoalan lain. Hubungan antar perkara itu dapat bersifat positif (membawa perbaikan) atau negatif(memperparah keadaan). Karena itulah kecermatan bekerja dan keluasan wawasan pada segenap komponen bangsa dihajatkan. Jangan sampai para pemimpin bangsa terjebak pada sikap parsial atau sektoral, bukan memecahkan keseluruhan masalah, malah menanam bom waktu yang suatu saat bisa meledak dengan dahsyat. Sebagai bangsa yang beriman, kita patut menyimak dan menghayati kembali doa yang diajarkan Nabi Muhammad Saw. Doa itu bermakna: “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari rasa cemas dan putus asa, aku berlindung kepada-Mu dari sifat hina dan malas, aku berlindung kepada-Mu dari jiwa pengecut dan kikir, aku berlindung kepada-Mu dari jerat utang dan dominasi orang lain” (HR Abu Dawud).
Untuk memecahkan permasalahan kontemporer di Negara kita tercinta ini, maka perlu sikap partisipasi aktif dari semua kalangan. Baik itu dari pemuda-pemudi, negarawan, aktifis, organisasi masyarakat Islam dan dan para pemerhati atau simpatisan social dan pendidikan. Jika kita berbicara mengenai partisipasi aktif dari semua kalangan, maka Muhammadiyahpun ikut berperan dengan menerjunkan lansung kader-kader progresif kedalam “kawah” kebangsaan tersebut.
Muhammadiyah telah melakukan kaderisasi sebagai nafasnya organisasi (Din Syamsuddin) dengan salah satu tujuannya untuk bias berperan aktif dalam permasalahan-permasalah nasionalisme. Agar efektifitas tujuan (dalam hal ini) tercapai dengan maksimal dan memuaskan, maka perlu adanya transformasi profil kader dan dihadapkan kepada problematika demi mencari jalan keluar yang solutif.
Di beberapa forum masih sering dipertanyakan bagaimana mentrasformasikan atau menempatkan kader Muhammadiyah di lingkungan Persyarikatan., selain dalam kehidupan yang lebih luas ditingkat ummat dan bangsa. Artinya, terdapat tuntutan yang perlu dijawab, bagaimana menempatkan kader Muhammadiyah secara terprogram atau terencana untuk menduduki posisi-posisi strategis di lingkungan sendiri, termasuk dalam kepemimpinan dan pengelolaan amal usaha Muhammadiyah.
Di kalangan orang-orang Muhammadiyah sendiri masih berkembang tiga pandangan mengenai transformasi kader tersebut:
Pandangan pertama menyatakan bahwa seharusnya kader Muhammadiyah disiapkan untuk menduduki dan menjalankan fungsi-fungsi mengemban visi Persyarikatan baik dalam kepemimpinan termasuk dalam amal usaha muhammadiyah. Jika Muhammadiyah termasuk amal usahanya ingin tumbuh dan berkembang sesuai dengan misinya maka harus dijalankan oleh para kader Muhammadiyah yang memang sejak dini memahami dan menghayati perjuangan Muhammadiyah. Hal ini sangat penting sekali untuk dilakukan sebagai wahana mempertajam kekuatan pikiran kader dalam memahami dan bisa mencari solusi terhadap permasalahan yang ada. Dengan membiasakan kader untuk terlibat dalam dunia persyerikatan terlebih dahulu akan menjadikan pelajaranyang berharga bagi kader jika terjun ke dalam permasalahan bangsa nantinya.
Pandangan kedua menyatakan, struktur kepemimpinan atau pengelola di lingkungan persyarikatan maupun amal usahanya tidak harus dari AMM atau yang pernah mengalami kaderisasi di Muhammadiyah. Kader dari luar pun sejauh alam pikirannya sama dengan Muhammadiyah maka dapat diterima dan dimasukkan kedalam struktur kelembagaan Muhammadiyah tersebut. Profesionalisme kader juga perlu di terbitkan dalam hal ini. Dengan demikian, bias menjadi antisipasi bagi kader dalam terjun lansung kepada Ummmat nantinya.
Pandangan ketiga yang menyatakan bahwa kader itu tidak harus atau tidak selalu harus masuk dalam struktur kepemimpinan baik di Persyarikatan maupun di amal usaha, yang paling utama ialah wujud pengabdiannya. Jika logika ini dipakai, maka boleh jadi kepemimpinan strategis tidak akan dikuasai kader Persyarikatan, dengan logika bahwa “pengabdian” dimanapun jauh lebih utama daripada “berebut posisi”, sedang posisi penting di Muhammadiyah dikuasai oleh mereka yang bukan kader. Padahal sesungguhnya, harus sebanyak mungkin kader muhammadiyah yang menguasai posisi penting dan strategis di seuruh lingkungan struktur kelembagaan Persyarikatan, termasuk di amal usaha, dengan catatan bahwa para kader itu sendiri dimobilisasi agar memiliki kualitas yang standar bahkan unggul. Transformasi kader ke struktur kelembagaan Persyarikatan tidak terlepas dari proses penyiapan dan keberadaan kader itu sendiri. Jika kader Muhammadiyah khususnya yang berasal dari AMM memiliki kunggulan standar, maka dengan sendirinya akan berbanding lurus dengan proses transformasi kader di kepemimpinan maupun amal usaha Muhammadiyah. Sebaliknya ,tidak mungkin transformasi kader itu berlangsung sukses manakala petensi dan keberadaan kader Muhammadiyah sendiri dibawah standar, baik kuantitas lebih-lebih kualitas.
Adapun dari permasalahan-permasalahan yang harus diselesaikan dalam bangsa ini adalah diantaranya: masalah ekonomi, social, pendidikan, politik dan permasalahan kemanusiaan lainnya, untuk dapat menyelesaikan permasalahan demi permasalahan (dalam berbagai bidang factor) tersebut, maka memang diperlukan kader atau orang-orang yang memang menguasai bidangnya. Muhammadiyah adalah organisasi Islam yang bergerak dalam segala factor kehidupan. Terutama sekali bidang pendidikan, awal dari pergerakan Muhammadiyah adalah dalam bidang pendidikan.
Transformasi kader disamping terkait dengan penyiapan potensi kader, pada saat yang sama harus disertai dengan adanya Political Will dari seluruh lingkup kepemimpinan Muhammadiyah baik di persyarikatan maupun di lingkungan amal usaha Muhammadiyah. Bahwa masa depan Muhammadiyah tergantung pada kadernya yang harus memikul amanat dengan berbagai daya dukung yang optimal. I’tikad politik yang serius itu harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan organisasi secara sistemik, bukan sekedar kebaikan orang perorang yang kebetulan sedang memimpin baik di kepemimpinan Persyarikatan maupun dilingkungan amal usaha Muhammadiyah. Kepentingan transformasi kader tersebut juga bukan dianggap sebagai beban tetapi melekat sebagai kewajiban kepemimpinan dan organisasi. Namun, sering proses kearah penciptaan I’tikad politik itu tidaklah mudah dan dan datang dengan sendirinya, karena itu harus selalu didorong dan dikritisi oleh seluruh komponen yang ada dilingkungan Muhammadiyah. Bahwa siapapun yang diberi amanat memimpin Persyarikatan dan amal usahanya, memiliki amanat dan kewajiban yang melekat untuk membuka dan menjalankan transformasi kader.
Untuk mengakhiri tulisan ini, penulis mengharap kepada semua kader Muhammadiyah dari kalangan manapun atau ortom apapun agar bias ikut secara pertisipasi aktif dalam memecahkan permasalahan-permasalahan bangsa seperti ini. Karena memang inilah salah satu garapan dari Organisasi Muhammadiyah yang selalu kita bangga-banggakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar